Gfr6TUC7BUM9TSd5TfW0BSro
Light Dark
Rumah Doni Salmanan Laku Rp 3,5 Miliar Uangnya Jadi Milik Negara, Benarkah?

Rumah Doni Salmanan Laku Rp 3,5 Miliar Uangnya Jadi Milik Negara, Benarkah?

Daftar Isi
×


Rumah mewah milik Doni Salmanan resmi dilelang oleh negara dengan nilai akhir sebesar Rp 3,5 miliar. Aset tersebut sebelumnya merupakan bagian dari rampasan negara atas kasus penipuan dan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan Doni sebagai terpidana utama.

Kondisi Fisik Rumah Nampak Tak Terawat

Menurut informasi dari detik.com (08/07/2025), rumah tersebut terletak di Desa Soreang, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, dengan luas tanah 400 meter persegi dan bangunan dua lantai seluas 600 meter persegi. Proses lelang dilakukan melalui situs resmi lelang.go.id milik Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

Penampakan rumah menggambarkan nuansa kemewahan yang memudar. Bagian depan terlihat tidak terawat, dipenuhi sampah dan dinding yang mulai mengelupas. Plafon rumah pun tampak mengalami kerusakan. Pagar hitam panjang dan balkon berwarna cokelat masih menjadi penanda sisa kejayaan rumah tersebut, meskipun tak lagi mencerminkan kemewahan seperti sebelumnya.


Putusan Hukum dan Nasib Doni Salmanan

Doni Salmanan, dikenal publik karena kasus penipuan berkedok platform robot trading Quotex, sebelumnya divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bale Bandung. Namun, hukuman tersebut diperberat oleh Pengadilan Tinggi Bandung menjadi delapan tahun penjara.

Semua upaya hukum yang dilakukan oleh Doni, termasuk kasasi dan peninjauan kembali (PK), telah ditolak oleh Mahkamah Agung. Keputusan hukum tersebut juga mencakup penyitaan sejumlah aset pribadi milik Doni untuk dijadikan barang rampasan negara dan dilelang guna menutupi kerugian yang timbul dari tindak kejahatannya.

Secara hukum, penyitaan dan pelelangan aset milik terpidana seperti Doni Salmanan memang diperbolehkan negara, terutama dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Namun, menjadi penting untuk mempertanyakan ke mana aliran dana hasil lelang tersebut dialokasikan.

Jika dasar dakwaan utama adalah penipuan kepada masyarakat, maka secara prinsip keadilan restoratif, seharusnya aset yang disita diprioritaskan untuk mengganti kerugian korban, bukan sepenuhnya masuk ke kas negara.

Hal ini bisa menjadi bahan evaluasi dalam praktik hukum pidana di Indonesia, agar tidak hanya menegakkan hukum secara prosedural, tetapi juga mempertimbangkan aspek keadilan substansial bagi masyarakat yang dirugikan.


Refleksi atas Kekayaan Cepat dan Akibatnya

Kisah Doni Salmanan menjadi contoh nyata bagaimana kekayaan instan yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak sah, pada akhirnya membawa kehancuran. Rumah mewah yang dulunya menjadi simbol gaya hidupnya, kini menjadi bagian dari proses hukum yang mengembalikan dana kepada negara.

Fenomena ini mengingatkan publik bahwa glamoritas digital tidak selalu sejalan dengan keberlanjutan hidup. Gaya hidup yang dibangun di atas fondasi ilusi kekayaan kerap menimbulkan kerugian bagi banyak orang, bukan hanya bagi pelaku, tetapi juga keluarga serta para korban.

Kehidupan Doni dan keluarganya kini berubah drastis. Rumah yang pernah dibanggakan kini telah menjadi milik orang lain. Kasus ini seharusnya menjadi perenungan mendalam bagi semua pihak, terutama generasi muda yang terpapar gaya hidup instan dan janji kekayaan dalam waktu singkat.

Dari sisi kemanusiaan, kita bisa melihat bahwa hukuman tidak hanya berdampak pada pelaku, tapi juga pada lingkungan sosialnya. Ada pembelajaran yang bisa dipetik: bahwa membangun hidup haruslah dengan proses yang jujur, beretika, dan berpijak pada hukum yang berlaku.


Bagaimana dengan Asset Koruptor?

Pemerintah pun melalui proses ini menunjukkan bahwa aset hasil ilegal dapat dimanfaatkan untuk memulihkan kerugian negara. Namun, penting bagi masyarakat untuk tetap mengawal jalannya proses hukum agar transparansi dan keadilan tetap menjadi prioritas.

Lebih jauh dari itu, langkah pemerintah dalam menyita dan melelang aset milik Doni Salmanan sebaiknya juga diterapkan secara konsisten kepada para koruptor kelas kakap. Sudah begitu banyak kasus korupsi yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar, namun belum semua pelaku mengalami penyitaan harta secara tuntas. Jika prinsip keadilan ingin ditegakkan, maka penegakan hukum terhadap koruptor harus dilakukan dengan pendekatan yang sama, tanpa pandang bulu.

Referensi:

0Komentar