Sesosok jasad menggantung di Flyover Pasupati, Bandung, menjadi pemandangan horor yang membelah keramaian malam. Di balik tragedi personal seorang pemuda berinisial KW (20), tersirat satu narasi yang lebih kelam dan sistemik.
Ini bukan sekadar berita kriminal biasa; ini adalah surat terbuka yang ditulis dengan nyawa, sebuah manifesto keputusasaan yang menunjuk langsung pada rapuhnya jaminan sosial dan abainya negara terhadap kesehatan mental warganya, terutama generasi muda yang terimpit beban ekonomi.
Seperti yang diberitakan oleh www.viva.co.id (01/11/2025), motif di balik tindakan nekat KW diduga kuat adalah frustrasi akibat tekanan ekonomi. Di usianya yang baru menginjak kepala dua, ia telah memanggul tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga.
Pesan terakhirnya kepada sang kekasih, 'sudah capek menjalani hidup', bukanlah sekadar keluhan sesaat, melainkan gema dari jutaan jeritan sunyi anak muda lain yang dipaksa dewasa oleh keadaan, tanpa dukungan memadai dari struktur kebijakan publik.
Jeritan Sunyi Generasi Tulang Punggung
Kasus KW adalah puncak gunung es dari fenomena generasi muda yang terperosok dalam peran sebagai penopang ekonomi keluarga secara prematur. Dalam narasi pembangunan yang selalu mendengungkan bonus demografi, pemerintah seolah lupa bahwa angka-angka statistik itu terdiri dari individu dengan beban dan tekanan psikologis yang nyata.
Ketika lapangan kerja yang layak sulit diakses dan upah tak sebanding dengan biaya hidup, janji masa depan yang cerah berubah menjadi lorong gelap tanpa ujung. KW dan banyak rekannya adalah korban dari sistem yang menuntut mereka berkontribusi maksimal, namun menyediakan jaring pengaman yang minimal. Mereka adalah angkatan kerja yang terpaksa berlari maraton dengan malnutrisi dukungan kebijakan.
Infrastruktur Megah, Kesejahteraan Rapuh
Ironisnya, tragedi ini terjadi di atas sebuah flyover, simbol kemajuan infrastruktur fisik. Pemerintah dengan bangga membangun jembatan beton dan baja untuk melancarkan lalu lintas ekonomi, namun gagal total membangun 'jembatan sosial' yang menghubungkan warga negaranya dengan bantuan saat mereka berada di titik terendah.
Pemandangan jasad yang tergantung di struktur megah Pasupati adalah metafora yang brutal, negara sibuk memoles fasad kemajuan, sementara fondasi kesejahteraan manusianya dibiarkan retak dan berlubang. Untuk apa jalan layang yang membentang jika warganya justru memilihnya sebagai tempat untuk mengakhiri hidup karena merasa tak punya jalan keluar lain?
'Capek Hidup' Alarm Kesehatan Mental yang Diabaikan
Pesan singkat 'capek hidup' adalah sinyal darurat yang seharusnya ditangkap oleh radar kebijakan publik. Ini menandakan krisis kesehatan mental yang merambat dalam senyap, diperparah oleh stigma dan minimnya akses layanan yang terjangkau.
Di mana peran negara dalam menyediakan konseling psikologis gratis atau bersubsidi bagi kelompok rentan ekonomi? Di mana program-program proaktif untuk mendeteksi depresi di kalangan remaja dan dewasa muda? Respons pemerintah yang seringkali bersifat reaktif dan seremonial tidak akan pernah cukup.
Selama kesehatan mental masih dianggap sebagai isu sekunder dan bukan pilar utama pembangunan sumber daya manusia, maka akan lebih banyak lagi 'pesan terakhir' yang tak pernah sampai ke telinga para pembuat kebijakan.
Bukan Sekadar Angka, Tapi Dakwaan Kolektif
Kematian KW tidak boleh hanya berakhir sebagai statistik dalam laporan kepolisian atau berita duka yang lewat begitu saja. Ini adalah sebuah dakwaan. Sebuah gugatan atas kegagalan sistemik dalam melindungi warganya yang paling rentan.
Tragedi di Flyover Pasupati harus menjadi momentum bagi pemerintah, legislator, dan masyarakat untuk secara serius meninjau kembali arah kebijakan sosial dan ekonomi. Sudah saatnya investasi pada infrastruktur manusia (jaminan sosial, lapangan kerja berkualitas, dan layanan kesehatan mental) diprioritaskan lebih dulu dari pembangunan beton. Jika tidak, jembatan-jembatan megah di seluruh negeri hanya akan menjadi saksi bisu dari lebih banyak nyawa yang menyerah karena 'capek hidup' di negara yang abai.
Referensi:
- Dedy Priatmojo. (2025, November 1). Tulisan Pesan 'Capek Hidup' ke Pacar, Ini Motif Pria Gantung Diri di Flyover Bandung. www.viva.co.id. Diakses 3 November 2025.


0Komentar
Jangan lupa kasih komentar yaaa :D