Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) resmi meluncurkan Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu), yakni ajakan donasi Rp1.000 per hari untuk ASN, pelajar, hingga masyarakat Jabar. Melalui Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/Kesra, program ini disebut sebagai wujud gotong royong dan kesetiakawanan sosial untuk membantu masyarakat yang membutuhkan di bidang pendidikan dan kesehatan, khususnya dalam kondisi darurat.
Dalam keterangan resmi, dana hasil donasi akan dikelola secara transparan oleh instansi, sekolah, maupun lingkungan masyarakat, dan disalurkan melalui rekening khusus Bank bjb. Pelaporan rencananya dilakukan lewat aplikasi Sapawarga agar publik bisa ikut berdiskusi.
“Prinsipnya sederhana tapi bermakna, dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat,” tulis KDM dalam edarannya, Jumat 3 Oktober 2025.
Respons publik mencuat di media sosial
Di tengah dukungan sebagian pihak, muncul kritik yang menyoroti kepatutan kebijakan publik. Sejumlah komentar warga menilai rakyat sudah dibebani berbagai pajak dan retribusi, sehingga ajakan iuran harian terasa tidak pada tempatnya ketika datang dari pemerintah.
@dewira847: 360rb sataun sarua jeung mayar pajak motor abi vario😢 (Rp360 ribu setahun sama dengan bayar pajak motor saya Vario)
@thecaptaen_: Hayang seuri 😂😂, fans fanatik na th pasti bilang wooowww. Kebijakan yg amazing, tehnolog iaaaa.. 😂
@rozzakjunayd: Seorang 1000 per hari x 30 hari = 30.000 perorang/bulan. Juni 2024, masyarakat Jabar totalnya 50 juta. Maka sebulan, 30.000 x 50.000.000 = 1,5 Triliun/bulan. 1,5 T x 12 = 18 Triliun/tahun. Pertanyaannya simple, anggaran pemerintah kurang?
Selain komentar yang bernada ketidakpuasan atas kebijakan Gubernur Jawa Barat tersebut, ada juga beberapa komentar yang mendukung positif.nurpagian_77: watir neleu komen kur sarebu perak sapoe g ni riweuh,komo da jaman aynmh duit sarebu asa duit 100 perak permen g Ngan menang 3 kopiko
Sorotan utama publik adalah kepatutan kebijakan
- Bukan soal nominal: Kritik warga menekankan ini bukan perkara “uang seribu”, melainkan kepatutan ketika pemerintah mengajak rakyat iuran, sementara rakyat sudah menunaikan kewajiban pajak dan pungutan resmi lainnya.
- Risiko pseudo-sukarela: Ajakan dari pejabat kepada ASN, pelajar, dan masyarakat berpotensi menghadirkan tekanan sosial, sehingga kata “sukarela” dikhawatirkan terasa seperti kamuflase dari kewajiban yang diperhalus secara istilah.
- Transparansi perlu bukti sistemik: Janji transparansi melalui rekening khusus dan pelaporan aplikasi diapresiasi, namun publik menunggu mekanisme akuntabilitas yang jelas, terukur, dan dapat diaudit.
Publik mempersoalkan beban pajak yang sudah beragam
Warga mengingatkan bahwa masyarakat Jabar telah menanggung berbagai kewajiban seperti pajak penghasilan, pajak kendaraan, PBB, serta aneka retribusi. Pertanyaan yang mengemuka, mengapa harus ditambah lagi dengan iuran harian, terlebih saat ajakan datang dari pemerintah yang semestinya hadir melalui kebijakan dan pengelolaan anggaran yang ada.
Harapan agar gotong royong kembali pada cara terbaik
Gotong royong adalah nilai yang patut dijunjung tinggi. Namun publik berharap semangat tersebut berjalan tanpa tekanan, mengutamakan kepatutan, dan disokong tata kelola yang kuat. Rakyat menegaskan tidak menolak solidaritas, tetapi meminta agar pemerintah memastikan landasan hukum, akuntabilitas, dan desain kebijakan yang tidak menambah beban warga.
Sumber: Unggahan Instagram @Koran_Gala terkait peluncuran Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) beserta komentar warga yang disertakan.
0Komentar
Jangan lupa kasih komentar yaaa :D